
Kementan Kembangkan Kampung Alpukat di Cianjur Secara Integrated Farming
PODZOLIK.COM—Kementan terus menggaungkan Gerakan Tiga Kali Ekspor (GraTiEks), termasuk yang dilakukan Ditjen Hortikultura dengan Kampung Hortikultura. Program ini mengusung konsep One Village One Variety (OVOV) dan dibangun dalam 1 (satu) wilayah administratif desa. Tiap Kampung Hortikultura kategori buah dan sayuran, luasnya minimal 10 hetare, sedangkan kategori tanaman obat luasnya 5 hektare.
Diungkapkan oleh Prihasto Setyanto, Dirjen Hortikultura, tujuan Kampung Hortikultura tidak semata-mata membentuk kawasan hortikultura dalam skala besar, tetapi utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan para petani.
“Semua kami bina mulai dari bimbingan GAP (Good Agricultural Practices) selama budi daya hingga GHP (Good Handling Practices). Benih yang diberikan juga benih bermutu. Kami juga kawal aspek perlindungan dan pascapanennya,” ungkap Prihasto.
Salah satu Kampung Hortikultura yang sudah berjalan adalah Kampung Alpukat di Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kampung hortikultura ini dijalankan oleh Kelompok Tani (Poktan) Sukatani 2, dengan alpukat varietas mentera atau mentega merah.
Kepala Seksi Produksi Tanaman Hias dan Buah-buahan Dinas Pertanian, Perkebunan, Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur, Yatti Rachmawati, menyatakan pemilihan alpukat sebagai komoditas yang dikembangkan lantaran secara agroklimat dirasa cocok.
“Alpukat salah satu komoditas yang diprioritaskan di Cianjur. Oleh karena itu, Poktan Sukatani 2 sebagai penerima bantuan sangat antusias dalam mengembangkan Kampung Alpukat ini. Untuk lokasi, Desa Sukadana dipilih karena ada kesesuaian agroklimat untuk komoditas alpukat. Kemudian, di sini ada potensi dan kompetensi dari para petaninya untuk mengembangkan alpukat varietas mentera,” ujar Yatti.
Ketua Poktan Sukatani 2 atau yang dikenal juga dengan Kelompok Agrofarm, H. Karmawan menjelaskan bahwa Kampung Alpukat ini sudah berjalan 3 bulan sejak penanaman perdana pada Oktober 2021, yang turut dihadiri oleh Direktur Buah dan Florikultura, Liferdi Lukman. Sejauh ini, perkembangan Kampung Alpukat dinilainya sangat bagus.
“Dari 1000 pohon, hanya 26 pohon yang gagal tumbuh. Selebihnya, berhasil dan perkembangannya bagus. Dalam 3 tahun ke depan diharapkan tidak hanya menghasilkan alpukat saja, tetapi bisa menjadi pohon naungan bagi tanaman lain, seperti kopi dan asparagus. Ini bukti bahwa Agrofarm mengembangkan sistem integrated farming,” jelas Karmawan.
Karmawan menjelaskan, pohon-pohon alpukat ini mulai bisa panen di tahun ke-4 dengan estimasi pendapatan total Rp137.500.000 dalam 3 kali panen, dan diperkirakan dapat balik modal pada tahun ke-5. Keuntungan ini diharapkan mampu terus bertambah dengan pengembangan Kampung Alpukat di lahan kosong yang masih tersedia di Desa Sukadana.
“Harapannya, Kampung Alpukat ini mampu berkelanjutan. Masih ada ratusan hektare lahan kosong di desa ini. Jadi, jika nanti Kampung Alpukat di sini berhasil, saya rasa bisa dikembangan juga di lahan-lahan kosong tersebut,” ujarnya.
Terkait integrated farming, Pembina Agrofarm, Wisnu Wardoyo bercerita bahwa di poktan Agrofarm, tidak hanya ada lahan pertanian, tetapi juga peternakan untuk menyediakan pupuk kandang organik dan perikanan sebagai barometer pencemaran.
“Di sini, pupuknya menggunakan kotoran hewan yang ada di peternakan. Jadi, kita tidak membeli pupuk dari luar. Dengan integrated farming, biaya produksi dapat lebih hemat bisa sekaligus melakukan penanaman beberapa tanaman, dan setiap hari selalu ada yang dipanen, sehingga jauh lebih menguntungkan,” jelas Wisnu.
Selain alpukat, di lahan Agrofarm juga turut ditanami dengan asparagus dan buncis. Menurut Wisnu, kombinasi ketiga tanaman ini dipilih karena pemupukannya dapat dilakukan sekaligus. Dengan memberi pupuk ke tanaman asparagus dan buncis, maka pohon alpukat tidak perlu diberi pupuk lagi sebab bisa mengambil residu pupuk dari asparagus dan buncis.
Lebih lanjut, Wisnu mengungkapkan bahwa keberlanjutan Kampung Alpukat ini ada di tangan petani-petani milenial. Dengan sistem integrated farming yang digunakan oleh Agrofarm, ini dapat menjadi kesempatan bagi para petani milenial untuk dapat mengembangkan pertanian yang berkelanjutan dan menghasilkan keuntungan lebih banyak.
“Usaha pengembangan Kampung Alpukat harus dibantu oleh petani milenial yang berwawasan, mandiri, dan mampu memanfaatkan teknologi. Campur tangan petani milenial ini diharapkan mampu mengurangi angka pengangguran dan penduduk yang menjadi tenaga kerja di luar negeri (TKI) karena penghasilan di kampungnya sendiri sebagai petani sudah sangat mencukupi,” tutup Wisnu. (bp)