
Kementan Sodorkan Lima Usulan Perbaikan Tata Kelola Pupuk Subsidi
PODZOLIK.COM—Keterbatasan anggaran yang dialokasikan bagi penyediaan pupuk bersubsidi, dianalisa berpotensi menimbulkan 5 masalah. Kelima potensi masalah tersebut yakni, perembesan antar wilayah, isu kelangkaan pupuk, mark up Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk di tingkat petani, dan alokasi menjadi tidak tepat sasaran.
Hal tersebut disampaikan oleh Muhammad Hatta, Direktur Pupuk dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian, dalam Webinar Perbaikan Tata Kelola Pupuk yang diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian, (29/10/2021).
Diungkapkan Hatta, kurun 5 tahun terakhir, kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 22,57—26,18 juta ton atau senilai Rp63—Rp65 triliun. Namun di sisi lain dengan keterbatasan anggaran pemerintah, alokasi yang bisa disiapkan hanya sebanyak 8,87—9,55 juta ton dengan nilai anggaran Rp25—Rp32 triliun.
“Dampak lebih lanjutnya, produktivitas tanaman akan menurun, karena petani tidak menggunakan pupuk tepat waktu dan tidak tepat jumlahnya,” ujar Hatta.
Sebelumnya, di acara sama, Gunawan, Sekretaris Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, menjelaskan bahwa pupuk sebagai salah satu sarana produksi yang sangat strategis bagi pertanian. Tidak saja mempengaruhi capaian produksi. Tetapi berdampak sosial sangat luas karena menjangkau sekitar 17 juta petani, pada 6063 Kecamatan, 489 Kabupaten dan 34 Provinsi.
Berkaitan pupuk bersubsidi, dikatakan Gunawan, tata kelolanya menjadi perhatian seluruh pihak terkait. Di era 4.0 transparansi publik dan pertanggungjawaban sosial selalu menjadi sorotan. Hal ini menjadi tantangan yang luar biasa bagi petugas yang menangani pupuk bersubsidi.
Menurut Gunawan upaya peningkatan produktivitas pertanian dapat terwujud salah satunya dukungan dari kegiatan pemupukan.”Proses pemupukan yang tepat sasaran berkontribusi tinggi dalam pencapaian produksi pertanian seperti padi,” ujar Gunawan.
“Pemerintah tetap berkomitmen untuk menjaga stok dan keterjangkauan harga pupuk baik subsidi maupun non subsidi untuk meningkatkan produktivitas lahan petani,” sambung Gunawan.
Usulan Tata Kelola
Hatta kembali menjelaskan, menurutnya, selama ini dalam tata kelola pupuk terbagi dalam lima kegiatan. Pertama, perencanaan menjadi tanggungjawab Kementerian Pertanian, teruatam penyusunan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) oleh kelompok tani didampingi penyuluh, termasuk menginput data, verifikasi, validasi melalui sistem e-RDKK.
“Dalam perencanaan dilakukan pertemuan nasional penetapan kebutuhan pupuk. Kemudian penyusunan Permentan tentang HET dan alokasinya,” kata Hatta.
Kedua, pengadaan dan penyaluran pupuk oleh PT PIHC dari Lini I-II-III-IV-Petani (yang terdaftar padai sistem RDKK) sesuai Permendag No. 15/2013.
Ketiga, supervisi, montioring dan pengawasan dilakukan berjenjang mulai dari tingkat Kecamatan, Kabupaten, Propinsi dan Pusat, Pengawasan oleh Tim KP3 (Unsur Dinas dan aparat hukum).
Keempat, verifikasi dan validasi penyalur yang dilakukan oleh Tim Verval, mulai dari tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga Pusat, melalui Dashboard Bank (Kartu Tani) dan sistem eVerval (KTP) berbasis android/T-Pubers.
Kelima, pembayaran. PT PIHC mengajukan usulan pembayaran dilengkapi dokumen sesuai persyaratan. Namun sebelumnya dilakukan verifikasi dokumen dan lapangan (sampling) oleh Tim Verval Kecamatan sampai Pusat. “Nah pengajuan pembayaran ke KPPN,” ujar Hatta.
“Dari gambaran tata kelola tersebut, Kementerian Pertanian tidak sendiri mengurus pupuk. Perencanaan Kementan, penyaluran PIHC, verifikasi dan monitoring dibantu pemerintah daerah. Pembayaran di Kementerian Keuangan. Tugas kami adalah perencanaan sampai ke petani,” sambung Hatta.
Diungkapkan Hatta, terkait kondisi tata kelola pupuk subsidi, pihaknya telah melakukan forum grup discussion (FGD), baik dengan DPR RI maupun Ombudsman, untuk memperbaiki tata kelola pupuk. Dari kegiatan tersebut terdapat beberapa usulan yang hingga kini masih dalam pembahasan.
Pertama, perbaikan data. Hatta mengakui, data menjadi hal prinsip dalam kebijakan subsidi pupuk. Karena itu data petani dan luas lahan terintegrasi Simluhtan (database petani yang dibina penyuluh). Jadi, sebelum masuk RDKK, data masuk terlebih dahulu di Simluhtan. Diusulkan juga menambah koordinat lahan yang difasilitasi pupuk subsidi. Selain itu, membatasi dosis pupuk sesuai rekomendasi Badan Litbang Pertanian.
Usulan kedua, luas lahan penerima pupuk bersubsidi maksimal 1 hektare. Hal ini berlaku untuk seluruh petani yang mengusulkan. “Sebelumanya penerima pupuk subsidi adalah maksimal petani yang memiliki lahan sampai 2 hektare, lalu kami ajukan beberapa usualan,” cetus Hatta.
Menurut Hatta, jika petani penerima pupuk subsidi ditetapkan luas lahannya maksimal 2 hektare, maka jumlah penerima hanya 17 juta petani dengan luas lahan luas 33,8 juta hektare. Hitungan pemerintah kebutuhan pupuk subsidi sebanyak 24,3 juta ton dan kebutuhan anggaran Rp65 triliun.
Karena itu ada opsi lainnya yakni hanya petani yang luas lahannya 1 ha. Berdasarkan data Simluhtan, petani yang memiliki lahan 1 ha sebanyak 12,7 juta orang dengan luas lahan 16,8 juta ha, kebutuhan pupuk sebanyak 12,07 juta ton dan anggaran yang pemerintah siapkan sebesar Rp32,46 triliun.
Opsi lainnya adalah untuk petani di Jawa, luas lahan penerima pupuk subsidi 1 ha dan luar Jawa 2 ha. Hitungan pemerintah yang akan menerima sebanyak 15,3 juta petani dengan luas lahan 27,4 juta ha. Dengan kebutuhan pupuk subsidi 19,6 juta ton, membutuhkan anggaran Rp52,6 triliun.
Opsi ketiga adalah berapapun usulan dari petani, pemerintah hanya memfasilitasi seluas 1 ha. Hitunganya jumlah petani 17,05 juta orang dengan luas lahan 33,8 juta ha, kebutuhan pupuk 18,5 juta ton atau setara Rp51,1 triliun. “Ini upaya kedua agar bagaimana petani yang menikmati pupuk subsidi bertambah,” ujarnya.
Usulan ketiga terkait tata kelola pupuk bersubsidi adalah menetapkan komoditas prioritas. Selama ini yang mendapat pupuk subsidi mencangkup 70 jenis komoditas. Namun diusulkan hanya 17 komodtas yang bisa difasilitasi. “Pemilihan prioritas berdasarkan kebutuhan pokok, komoditas utama pertanian, luas tanam dan dampak terhadap inflasi,” imbuh Hatta.
Usulan keempat, jenis pupuk yang disubsidi hanya urea dan NPK. Dengan hitungan volume urea sebanyak 5.610.392 ton dan NPK sebesar 8.537.88 4 ton, total pupuk yang disubsidi sekitar 14.148.276 ton. Dengan demikian nilai subsidinya sebesar Rp50,02 triliun. Perinciannya subsidi urea sebanyak Rp18,47 triliun dan NPK Rp31,55 triliun. Alternatif ini masih sebatas usualan, hanya urea dan NPK yang disubsidi.
Usulan Kelima, perbaikan penyaluran pupuk subsidi. Langkahnya dengan percepatan implementasi kartu tani, Meningkatkan infrastruktur dan tenaga pendukung penerapan aplikasi transaksi online di Kecamatan, dan Mengusulkan revisi Permendag No 15 Tahun 2013 terkait peran Kementan/Dinas Pertanian dalam menetapkan penyalur.
“Persoalan pupuk subsidi kini tengah dalam pembahasan intensif untuk merumuskan tata kelola pupuk subsidi. Diharapkan mekanisme baru sudah bisa ditetapkan pada Nopember agar bisa diterapkan pada 2022,” tutur Hatta. (sr)