
Terkait PMK, Bagaimana Seharusnya Mitigasi Lalu Lintas Ternak dan Pelaksanaan Kurban Dilakukan?
PODZOLIK.COM—Penyebaran kasus serangan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia semakin meluas. Berdasarkan data Kementan, sampai dengan 22 Mei 2022, PMK ditemukan di 82 kabupaten/kota di 16 Provinsi, dengan jumlah ternak yang terkonfirmasi positif mencapai 20.723 ekor.
Ternak ruminansia seperti domba, kambing, dan sapi, merupakan komoditas peternakan yang sangat rentan terhadap ancaman PMK. Di sisi lain, sekitar 2 bulan ke depan akan berlangsung Idul Adha, Hari Raya umat Islam yang membutuhkan banyak pasokan ternak ruminansia.
Arif P Rachmat, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pertanian, mengatakan bahwa dalam penaggulangan PMK diperlukan kerjasama semua stakeholder, agar dampak dapat dikurangi dan wabah dihentikan. Mengingat kebutuhan ruminansia akan meningkat tajam jelang Idul Adha.
“Strategi paling tepat dengan pemetaan, isolasi, dan pengaturan lalu lintas ternak, kita berharap PMK cepat dikendalikan sehingga usaha peternak bisa berlanjut,” ungkapnya dalam webinar bertema Mitigasi Lalu Lintas Ternak dan Pelaksanaan Kurban di Tengah Wabah PMK, yang diselenggarakan Kadin Indonesia bersama HPDKI (Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia), 24 Mei 2017.
Senada dengan Arif, Tri Hardiyanto, Ketua Komite Tetap Peternakan, Kadin Indonesia, juga menegaskan pentingnya mempercepat penanagan PMK. Menurutnya, diperlukan aturan yang bisa menjamin keberlangsungan agribisnis peternakan.
“Menjelang lebaran haji, kita harus mampu mengamankan kegiatan ini, supaya tidak menjadi masalah politis dan masalah lain yang tidak kita harapkan,” cetus Tri.
Sementara Yudi Guntara, Ketua Umum HPDKI menyatakan dampak ekonomi dari wabah PMK sudah terlihat, dan lalu lintas perdagangan ternak sudah sangat tergangu. Selain itu, industri yang tergantung dengan pasokan ternak juga sudah tergangu ativitasnya.
“Jadi, pelu mitigasi supaya tidak lebih serius. Kalau lalu lintas perdagngan ternak tidak bisa dimitasgasi maka akan lebih serius lagi dampaknya terkat pasokan ternak, karena tidak bisa diistribusikan, “ ungkap Yudi.
Menanggapi hal tersebut, Bambang, Kepala Badan Karantina Pertanian, Kementan, menyatakan Pemerintah telah mengeluarkan regulasi terkait PMK. Diantaranya Surat Edaran Nomor 02/SE/PK.300/M/5/2022 tentang Penataan Lalu Lintas Hewan Rentan, Produk Hewan dan Media Pembawa Lainnya di Daerah Wabah Penyakit Mulut dan Kuku. Juga Surat Edaran Nomor: 03/SE/PK.30OM5/2022 tentang Pelaksanaan Kurban dan Pemotongan Hewan Dalam Situasi Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (Foot And Mouth Disease).
“Kedua Surat Edaran ini bisa menjadi acuan bersama dalam pelaksanaan lalu lintas ternak dan kurban,” ujar Bambang.
Sebelumnya tanggal 6 Mei 2022 Kepala Badan Karantina Pertanian juga telah mengeluarkan Surat Edaran No 12950/KR/120/K/05/2022 Tentang Peningkatan Kewaspadaan terhadap Penyakit Mulut dan Kuku. Hal tersebut menjadi acuan Kepala UPTKP di seluruh Indonesia dalam pembatasan lalu lintas ternak khususnya dalam pengendalian penyebaran penyakit mulut dan kuku.
“Mari kita tidak pada posisi untuk mencari kambing hitam atas terjadinya wabah PMK ini tetapi kepada penanggulangannya, kita harus tetap tenang, meski penyakit ini snagat berbahaya bagi ruminansia dan penyebaranya sangat cepat,” tambah Bambang yang juga menyebut bahwa Pemerintah telah menerjunkan sekitar 20.000 dokter hewan ke lapangan.
Di tempat sama, Ira firgorita dari Ditjen PKH, Kementan, menambahkan, pemerintah juga akan mengambil beberapa langkah lain penangulangan wabah PMK. Diantaranya, pengadaan vaksin dan pembatasan lalu lintas hewan dan produk hewan.
“Penetapan penutupan (lockdown) zona wabah pada tingkat kecamatan/Kabupaten di setiap wilayah dengan radius 3—10 km dari wilayah terdampak PMK. Selain itu juga dengan melakukan pembatasan, pengetatan, sampai penutupan lalu lintas ternak, pasar hewan dan rumah potong hewan, sera masuknya ternak hidup di wilayah perbatasan negara belum bebas PMK,” ungkapnya.
Terkait pelaksanaan kebijakan pemerintah, nyatanya menghadapi kendala di lapangan khususnya bagi pelaku tata niaga. Beberapa pelaku tata niaga kurban di daerah misalnya, mengeluhkan pelarangan masuk dan atau transit dari daerah bebas ke daerah terinfeksi seperti pengiriman sapi kurban dari Bali dan NTT ke Pulau Jawa via Provinsi Jawa Timur. Seperti yang dialami Yudi Arif dari Bakoro farm.
“Tangal 10 kemarin, kapal yang membawa sapi kami dari daerah bebas PMK (NTT), seharusnya singgah di Surabaya, lalu melanjutkan perjalanan darat ke Jawa Barat, tetapi kepala balai (karantina) tidak mengijinkan turun di Surabaya, (tidak bisa transit di daerah wabah), kami ikuti, kami lanjutkan kapal ke Jakarta, jadi harus urus ijin trayek lagi,” ujar Yudi.
“Kebijakan ini dapat menambah cost dan bisa memunculkan aksi anilegal, belum lagi kesiapan pelabuhan, bagi kami, peternak dan pelaku kecil di industri ini, ada banyak kebjakan antara satu dinas dengan dinas lain yang tidak berjalan senada dan berdampak langsung kapada kami,” sambungnya.
Sementara itu, di daerah lain, ada yang menerapkan syarat pemeriksaan uji klinis bebas PMK dari setiap ternak yang dikirim dengan fasilitas uji klinis belum memadai dan membutuhkan biaya yang mahal hingga mencapai Rp500 ribu per ekor dengan waktu hasil 3—4 hari.
Dampak perbedaan kebijakan perlakuan penanganan lalu lintas ternak dan produknya dari wilayah wabah/terinfeksi/tertular dan bebas antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota menimbulkan saling mengunci antara daerah pengeluaran dengan daerah penerima. Pelaku lain misalnya, melaporkan mendapatkan tidak ada pembatasan dari daerah penerima dan sudah diterbitkan rekomendasi pemasukan, namun ada pembatasan dari daerah pengirim atau sebaliknya.
Kondisi lain juga didapatkan adanya perbedaan perlakuan karantina pengeluaran 14 hari antara ternak lokal dengan ternak (sapi) ex impor atau tujuan RPH. Pelaku tata niaga akhirnya memandang kebijakan tersebut lebih memudahkan distribusi daging impor sumber negara terinfeksi India dan Brazil dibandingkan daging lokal.
Ditempat sama, Didiek Purwanto, Ketua Dewan Gapuspindo, menyatakan bahwa sebaiknya pemerintah menentukan batasan zona atau sistem kompartmen. Tujuanya agar usaha ruminansia bisa tetap berjalan di tengah penaggulangan wabah PMK.
“Semestinya di buat mitigasi lalu lintas ternak karena begitu banyaknya propinsi yang positip karena kalau tidak ada migasi maka akan menjadikan lalulintas tidak terkontrol. Pemerintah segera menentukan batasan zona atau sistem kompartmen sehingga usaha masih bisa berjalan,” ungkapnya.
“Kalau dalam program pengendalian yang dibuat memang sudah bagus tetapi yang dibutuhkan adalah langkah kongkritnya, karena dii lapangan sudah mengalami kegaduhan kerena belum adanya kesatuan dan koordinasi dari pusat sampai daerah,” sambung Didiek lagi.
Hambatan Pelaksanaan Kurban dan Pemotongan
Sebagai catatan, Kadin menyimpulkna bahwa kurban merupakan hari raya para peternak untuk dapat mencairkan tabungannya. Pelaksanaan kurban di Indonesia sangat bergantung pada mengalirnya ketersediaan ternak dari sumber pasokan seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung yang saat ini sudah masuk dalam daerah wabah/terinfeksi. Sedangkan sumber pasokan lain yang masih bebas yaitu Bali dan NTT menemukan kendala pemasukan dari kebijakan karantina antar pulau.
Jika dalam waktu dekat hambatan kebijakan lalu lintas tersebut belum menemukan jalan keluar, pelaku memperkirakan kurban tahun 2022 tidak dapat berjalan dengan baik dan dampaknya kemungkinan banyak peternak tidak dapat menjual ternaknya atau peningkatan penyebaran penyakit akan semakin meluas karena peternak memaksakan ternaknya dijual.
Dalam hal pemotongan kurban, dengan fasilitas dan infrastruktur RPH yang ada, tidak memungkinkan panitia kurban untuk memenuhi persyaratan teknis sebagaimana yang diatur dalam surat edaran tersebut.
Misalnya, pemisahan daging dan tulang, dan merebus bagian selain daging selama 30 menit atau daging direbus jika didistribusikan ke luar daerah, bahkan dimusnahkan jika ada ternak terinfeksi/terduga PMK di daerah bebas. Infrastruktur fasilitas RPH pemerintah yang ada di daerah umumnya didesign untuk handling daging segar, belum mampu menunjang untuk penerapan SOP handling daging untuk ternak terinfeksi yang membutuhkan infrastruktur rantai dingin dalam pengendalian penyebaran penyakit.
Pelaksanaan kurban dengan aturan tersebut tidak hanya butuh fasilitas infrastruktur memadai, namun juga perlu mengajak kementerian agama dan atau MUI memberikan pandangan atau bahkan fatwa secara syariat memandang kurban ditengah wabah PMK. Hal ini, guna memberikan pemahaman dan ketenangan kepada masyarakat tentang pelaksanaan kurban dengan kondisi yang terjadi saat ini.
Rekomendasi dan Solusi
Dari webinar tersebut tersimpul beberapa poin rekomendasi dalam proses lalu lintas ternak dan kurban. Diantaranya dengan melibatkan pelaku tata niaga dalam penyusunan dan perumusan permentan lalu lintas ternak atau peraturan lain dalam mitigasi PMK, dan menyeragamkan kebijakan pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) terkait lokus dan objek pembatasan lalu lintas ternak dan produknya (mengacu antar pulau, provinsi, kabupaten/kota, desa atau lokasi kejadian).
Kemudian, distribusi lalu lintas ternak yang dilalulintaskan mengacu pada hasil pemeriksaan ternak sehat dengan kelengkapan dokumen SKKH/SV oleh otoritas veteriner berwenang. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kepastikan bagi pelaku tata niaga dalam mendistribusikan pangan dan ternak kurban di daerah.
Dalam hal pelaksanaan kurban, pemerintah perlu mengajak Kementerian Agama dan atau MUI untuk memberikan pandangan atau fatwa secara syariat tentang pelaksanaan kurban ditengah wabah PMK.
Sedangkan, mitigasi yang perlu disiapkan untuk pengendalian penyakit dalam hal pemotongan, menetapkan dan memisahkan RPH khusus untuk ternak terinfeksi atau yang memiliki gejala klinis dengan RPH dengan ternak sehat. RPH untuk ternak terinfeksi tersebut dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai sesuai dengan SOP penanganan ternak dan dagingnya untuk pengendalian pencegahan penyebaran PMK.
Perlunya pemerintah melakukan terobosan hukum untuk memberikan kompensasi pada ternak terinfeksi yang dikenakan penanganan stamping out dan dipotong di lokasi RPH khusus ternak terinfeksi. (UU Nomor 18 Tahun 2009 (pasal 44 ayat 2 dan ayat 3) juncto Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2014 (pasal 68 dan pasal 72) bahwa Pemerintah tidak memberikan kompensasi atas tindakan depopulasi (termasuk tindakan pemusnahan/stamping out) terhadap hewan yang positif terjangkit penyakit hewan dan kompensasi hanya diberikan kepada orang yang memiliki hewan sehat yang didepopulasi untuk mencegah penyebaran penyakit serta proses pelaksanaan kompensasi dengan menggunakan anggaran negara (APBN).
Kedepan, diperlukan pemerintah dapat memfasilitasi panduan dan sertifikasi untuk penetapan kompartemen bebas PMK untuk pelaku usaha peternakan dan mempercepat penyediaan vaksin ternak di daerah wabah atau terinfeksi. (sr)